Pada mulanya, hanya berupa niat ingin membaca sebuah sajak di dalam sebuah ruang kecil dengan seorang teman. Kemudian, datang teman kepada seorang teman, dan seterusnya beberapa orang peminat.
Kini, orang yang datang untuk mendengar bacaan sajak semakin ramai. Cara membaca sajak pun mula berubah. Suara harus dikeraskan (kasihan orang di bangku belakang sana). Gaya dikemaskinikan. Mulailah anasir/elemen drama itu menyusup masuk. Maka, dicarilah ruang yang lebih besar, sebuah dewan. Maknanya, pembaca sajak kena naik pentas, menggunakan mikrofon; lebih ramai, lebih baik.
Kini, diterima undangan. Acara membaca sajak bertambah rancak. Segalanya menjadi rasmi-rasmian. Dan lihat itu, liputan di surat khabar harian dan mingguan. Wah, ini sudah hebat! Kemudian, datang pula para penaja memberikan sumbangan; baca sana, baca sini.
"Hadirin sekalian, zaman baca sajak sudah berlalu. Kini, deklamasi puisi namanya!"
Untuk menarik penonton yang lebih ramai, dicari pula deklamator undangan. Mengapa tidak para pelakon, para dramatis, penyanyi, malah orang kenamaan? Ini bisa membuat acara meletup! (Tetapi, di mana para penyair handalan kita itu? Kok berada begitu jauh - menanti nombor giliran - jauh nun di belakang sana?)
Nah! Begitulah perkembangan dan loncatannya; selama yang kuamati, kuikuti; daripada kegiatan membaca sebuah sajak dengan tiga orang teman penyair, hinggalah upacara mendeklamasikan sebuah puisi dengan para artis pujaan di hadapan ratusan penonton di tanah air sendiri. Hore!
- Catatan, hlm 145.
0 comments:
Post a Comment