Klik Gambar untuk PESAN & TEMPAH.
Showing posts with label Puisi Umum. Show all posts
Showing posts with label Puisi Umum. Show all posts

Unsur Puisi

Unsur puisi, unsur emosi, unsur imaginasi - ketga-tiga unsur ini tidak dapat dipisahceraikan; sudah lumrah, sebati, sejati. Mengikut yang ahli, puisi itu sudah ada dalam emosi, dalam imaginasi kita sejak lahir. Walaupun seseorang itu bukan penyair, dia bisa saja seorang yang amat puitis - cepat terharu oleh pilihan dan susunan  kata-kata penyair; pada bunyi, nada, sebutannya yang indah, pada cara ia menimbulkan dan mengungkapkan pengalaman biasa atau sehariannya.

- CATATAN, hlm 138.

Puisi Itu Tidak Logik

Puisi itu tiada kena-mengena dengan logika. Puisi berangkat dari suatu realiti kehidupan lalu masuk ke dalam suatu realiti penulisan, suatu realiti hasil ciptaan. Realiti kedua inilah yang dinamai puisi. Dalam keadaan yang segar dan bebas sedemikian, puisi mempunyai ruang-daerah, rasa-warna, suara-nafasnya sendiri yang mungkin saja tidak berupaya ditambat ke suatu bentuk pemikiran bernama rasional atau logika.

Kegiatan Baca Sajak (1975)

Pada mulanya, hanya berupa niat ingin membaca sebuah sajak di dalam sebuah ruang kecil dengan seorang teman. Kemudian, datang teman kepada seorang teman, dan seterusnya beberapa orang peminat.

Kini, orang yang datang untuk mendengar bacaan sajak semakin ramai. Cara membaca sajak pun mula berubah. Suara harus dikeraskan (kasihan orang di bangku belakang sana). Gaya dikemaskinikan. Mulailah anasir/elemen drama itu menyusup masuk. Maka, dicarilah ruang yang lebih besar, sebuah dewan. Maknanya, pembaca sajak kena naik pentas, menggunakan mikrofon; lebih ramai, lebih baik.

Kini, diterima undangan. Acara membaca sajak bertambah rancak. Segalanya menjadi rasmi-rasmian. Dan lihat itu, liputan di surat khabar harian dan mingguan. Wah, ini sudah hebat! Kemudian, datang pula para penaja memberikan sumbangan; baca sana, baca sini.

"Hadirin sekalian, zaman baca sajak sudah berlalu. Kini, deklamasi puisi namanya!"

Untuk menarik penonton yang lebih ramai, dicari pula deklamator undangan. Mengapa tidak para pelakon, para dramatis, penyanyi, malah orang kenamaan? Ini bisa membuat acara meletup! (Tetapi, di mana para penyair handalan kita itu? Kok berada begitu jauh - menanti nombor giliran - jauh nun di belakang sana?)

Nah! Begitulah perkembangan dan loncatannya; selama yang kuamati, kuikuti; daripada kegiatan membaca sebuah sajak dengan tiga orang teman penyair, hinggalah upacara mendeklamasikan sebuah puisi dengan para artis pujaan di hadapan ratusan penonton di tanah air sendiri. Hore!

- Catatan, hlm 145.

Apa Gunanya Puisi?

"Apa gunanya puisi?" Ini bukan pertama kali aku disergah oleh pertanyaan sedemikian, dan aku percaya, bukan pula ke akhir kali.

Kufikir-fikir, dari segi dagang, puisi memang tidak ada gunanya. Dari segi sosial, puisi pernah dan masih digunakan sebagai alat untuk meniupkan semangat juang. Tetapi bagiku peribadi, satu daripada kegunaan puisi adalah untuk mendekati...mendekati gerak hati/gerak jiwa kita.

Dari Mana Datangnya?

Jangan bertanya kepadaku dari mana datangnya penyair. Aku tidak tahu. Apakah dia datang dari universiti, dari kebun getah, atau dari pasar malam, bagiku sama saja; asalkan puisinya itu bagus buatannya, indah, serta dalam pula maknanya.

- CATATAN, halaman 154.

Tak Pernah Tahu

"Dari mana datangnya puisi?" Teman yang menghantarku pulang ke Kampung Pandan tiba-tiba bertanya. Dia doktor bedah. Tadi kami sama-sama mendengar ceramah sastera di Sudut Penulis, DBP.

"Dari mana datangnya puisi?"

(Dari mana ya? Mungkin dari perasaan. Mungkin dari fikiran, dari ingatan, atau dari pengalaman. Tetapi, pengalaman yang bagaimana? Ah, mungkin tidak...bukan! Ah! Bagaimana menjawab soalan yang berat, tetapi wajar ini di tengah-tengah larut malam begini?

Lampu merah di persimpangan jalan itu (Jalan Cheras) terasa lama sekali nyalanya.

(Ah, mungkin esok...ya esok akan kujawab dengan sebaik-baik jawapan untuk pertanyaan yang satu ini! Atau biarkan saja dan katakan, "Tak pernah tahu dari mana datangnya" kerana itulah yang pasti kepadaku ketika ini.)

- CATATAN, halaman 152.

Puisi Konkrit & Puisi Tenggelam

Puisi Konkrit
Sebenarnya, yang dikatakan puisi konkrit itu sudah lama bernafas dalam khazanah sastera kita, dalam berbagai-bagai bentuk ungkapan, pepatah-pepitih, dan lain-lain sebagainya. Cuma unsur bunyi, nada suaranya tidaklah ditonjolkan, ditinggikan begitu lantang, keras sehingga menenggelamkan/meninggalkan unsur-unsur lainnya. Bentuk puisi kita yang paling dekat dengan puisi konkrit ialah mantera.

Puisi Tenggelam
Puisi sering kali tenggeklam lemas dalam lautan  pentafsirannya.

-CATATAN, halaman 140.

Sajak Bebas 60-an Hingga 70-an

Yang dikatakan sajak bebas itu bagaimana? Seorang pelajar bertanya kepadaku, "Apakah ada bezanya daripada sajak-sajak ASAS 50?"

Wah, ini pertanyaan wajar tetapi berat, daripada pelajar yang pintar! Aku hanya bisa menjawab dengan baris ayat yang tersentak-sentak:

"Sajak-sajak ASAS 50 masih belum bebas sepenuhnya daripada pola/model pantun dan seloka, walaupun segelintir sudah dilanda gaya, teknik, unsur sajak Chairil pada awal tahun 50-an. Sajak-sajak mereka masih terikat pada ikatan adat bersyair/bersajak. Kalimat yang berirama dan ayat yang "sama seukur" itu belum terlepas jua daripada mata pena, masih terlalu banyak memakai kata perlambangan dan kata bandingan. Maklumlah pada zaman transisi, betapa susahnya meninggalkan lenggang-lenggok gaya bersajak itu.

Tetapi kini, Usman sendiri misalnya, telah merobah puisi tanah air dengan rangkaian puisi modennya sehingga kami, penyair pada awal tahun 60-an hingga 70-an berupaya pula sedikit banyak membebaskan diri daripada ikatan-ikatan ketat tersebut, sesuai dengan tanggapan dan segala pengertian baru - apa itu bahasa, imejan, struktur, diksi, intuisi, imaginasi, metafora, mimpi, memori, ambiguiti, dan lain-lain sebagainya. Kami lebih banyak juga mencungkil/menggali jauh ke dalam diri, ke dalam jiwa sendiri. Maka itulah kadangkala, terasa ada semacam simbol dalaman yang amat peribadi sifatnya."

Apakah pelajar tadi puas hati dengan jawapanku ini?

-CATATAN, halaman 131.


Apakah Kekuatan Puisi?

Kekuatan Puisi

Puisi itu mempunyai kekuatan/ketahanannya yang tersendiri, daripada sifatnya yang imaginatif dan daripada keharmoniannya yang terbina dari dalam. Tidak seperti politik dan ekonomi, acuan semasanya masuk membentuk ke dalam kehidupan kita secara tekanan dari luar (malah kadangkala terasa secara paksaan). Apabila saja kulit atau kelongsong acuan ini dipisahkan, maka runtuhlah segala bentuk ketahanan kita itu!

-CATATAN, halaman 151.

Sebarang komen atau pendapat?

Gatra Paling Unggul (1942-1960)

Bagiku peribadi, sesungguhnya ada beberapa kalimat/gatra dalam seluruh himpunan Puisi Baharu Melayu yang benar-benar unik, hebat, dan unggul; yang bikin sejarah dalam perkembangan puisi moden tanah air setakat ini (1942-1960). Baris-baris gatra yang kumaksudkan itu ialah:

Yang pertama:
"Punya satu isteri mau dakap sampai mati
lima orang anak mau makan setiap hari"

("Pak Utih" oleh Usman Awang)

Yang kedua:
"Sekali ini aku tiada peduli
Di atas dasar yang satu aku berdiri"

("Tiada Peduli" oleh Masuri S.N.)

Yang ketiga:
"Jangan malu untuk menggila
panggilah gadis
ciumlah dia"

("Dua Catatan" oleh Kassim Ahmad)

Yang keempat:
"Di laut. Ada cermin
di muka air berwarna
usia berlalu di bawah neraca. Tua"
("Senja" oleh Noor S.I.)


Itulah sebahagian gatra atau kalimat yang pada hemat Latiff Mohidin unik, hebat, dan unggul antara tahun 1942-1960 seperti yang tercatat dalam CATATAN, halaman 128.

Beliau ada mengulas lanjut "Tiada Peduli" karya Masuri S.N. pada halaman 129, CATATAN. Dapatkan buku CATATAN untuk mengetahui pandangan lanjut beliau tentang hal itu.

Powered By Blogger

Twitter

Follow lamansesawang on Twitter

Rakan Catatan Latiff Mohidin

Catatan yang Lain

Powered by Blogger.